Disini
saya akan membahas beberapa pokok penting yang berkaitan dengan penduduk
pribumi maupun non pribumi , diantaranya adalah :
1) Apakah di Indonesia ada penduduk asli? Kalau ada dimana domisilinya?
Penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus
Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang
di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat
dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah
dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua
atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus
Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya
lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli
Australia.
Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli
Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia
Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup
secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan
meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal
dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang
ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam
berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap
dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi
pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar
satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan
sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang
lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup
ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan
yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat
peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa
yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka
perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah
menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat.
Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan
adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah
yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup
menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem
pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru
setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari
luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.
Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah
sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu
tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya
tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran
sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya
fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai)
walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman.
Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden.
Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas
tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan.
Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini
adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan
palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti
kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan
kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya.
Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara
kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun
Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras
mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina
Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya
yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua
sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu
Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan
Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa
ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini
adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua,
telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka
sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri
(food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih
permanen.
Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka.
Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka.
Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah
tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka
mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang
ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu,
pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan
peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang
lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan
penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan
penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke
pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini,
seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah
dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah
lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok
tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai
atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan
untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap
mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih
tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa
penguasa baru yang menempati wilayah mereka.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran
darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu
datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan
mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati
orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera
Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina,
orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah
orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan
Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan
perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang
telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat
produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang
tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman
karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak
banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di
daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang
Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat
berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk
cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut
tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah
Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan
setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut
penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi
pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara
besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal
Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang
bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa
Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para
manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli
Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga
secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti
sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam
masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.
Suku – suku di Indonesia :
Suku Asmat di Papua.
Suku bangsa Banjar sebagian besar menempati wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Suku Dani di Wamena, Papua, Indonesia.
Suku Dayak atau Daya mendiami Pulau Kalimantan.
Suku Asmat di Papua.
Suku bangsa Banjar sebagian besar menempati wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
Suku Dani di Wamena, Papua, Indonesia.
Suku Dayak atau Daya mendiami Pulau Kalimantan.
2) Kenapa timbul isu istilah pribumi dan non pribumi?
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia
tanpa ada memandang istilah pribumi atau non-pribumi yang melekat karena
perbedaan latar belakang etnis.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara
lain:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI) Atas dasar UU diatas dan latar belakang munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa ini.
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi.
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI) Atas dasar UU diatas dan latar belakang munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa ini.
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi.
Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme
membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik,
pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem
pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
3) Siapa saja yang dimaksud non pribumi?
3) Siapa saja yang dimaksud non pribumi?
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang
dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila
dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di sana.
Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih
khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan
orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki
ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak
milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas
masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari
melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang
terkandung dari istilah ‘pribumi’. Sebagai contoh, tersebutlah sepasang
suami-istri bernama Pak Budi dan Ibu Ina. Mereka berdua adalah warga asli kota
Bogor. Namun karena suatu alasan tertentu pindahlah mereka berdua ke kota Milan
di Italia. Di sana Ibu Yani melahirkan seorang anak bernama Joko. Joko tumbuh
dan besar di Milan. Pada akhirnya Joko menikah dengan seorang perempuan
keturunan Indonesia namun lahir di Eropa yang kebetulan berkuliah di Milan,
bernamaYanti. Dari pernikahan mereka lahirlah putri mereka Intan, masih di kota
yang sama di mana mereka bertemu. Joko dan Yanti membesarkan Intan di Milan,
hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk berkunjung ke kota asal orang
tua dari Joko yaitu kota Bogor di Jawa Barat. Bersama putri mereka Intan
tibalah mereka di kota Bogor. Pertanyaannya adalah, apakah Intan pantas dan
layak disebut sebagai warga pribumi di sana? Sedangkan dia dan ayahnya
dilahirkan di Milan, Italia, dan mereka pun tidak memiliki sepetak tanah pun di
Bogor. Sudah barang tentu masyarakat di kota Bogor akan menganggap Joko dan
Intan sebagai pribumi tanpa harus menanyakan di mana mereka lahir, karena itu
sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang memiliki ‘wajah
pribumi’.
Dari contoh paragraf di atas saja sudah jelas tentang masih abu-abunya
penentuan seseorang dianggap sebagai pribumi atau tidak. Lalu bagaimana dengan
seorang warga keturunan Tionghoa (sebut saja bernama Hendro), yang memiliki
sebidang tanah di suatu daerah di Indonesia warisan dari nenek-moyangnya yang
sejak zaman Hindia Belanda lahir besar dan tinggal di Indonesia, pantaskah
disebut sebagai seorang warga pribumi? Apabila merujuk dari definisi asli
tentang ‘pribumi’ pada paragraf kedua, Hendro adalah seorang pribumi. Namun
apakah masyarakat yang tinggal di sekitarnya ‘rela’ menyebut Hendro sebagai
warga pribumi asli Indonesia? Nampaknya hal itu sangat mustahil.
4) Kenapa istilah non pribumi yang menonjol hanya pada etnis tionghoa?
4) Kenapa istilah non pribumi yang menonjol hanya pada etnis tionghoa?
Semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang
ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,
1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa
dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean
dalam Susetyo, 1999)
Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara
etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik,
mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et
impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa
Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik
lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakangerakan
anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa
terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di
bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana
yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu
munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis
Pribumi (Helmi, 1991).
etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik,
mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et
impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa
Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik
lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakangerakan
anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa
terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di
bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana
yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu
munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis
Pribumi (Helmi, 1991).
Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian
berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu,
orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi
diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut
mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai
marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban
kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan
perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan
representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa
(Gerungan, 2002).
berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu,
orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi
diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut
mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai
marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban
kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan
perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan
representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa
(Gerungan, 2002).
Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun
golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang
menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono,
1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang
Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme
yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa
semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga
berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam
Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih
pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak
dapat dipercaya (Sarwono, 1999).
golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang
menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono,
1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang
Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme
yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa
semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga
berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam
Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih
pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak
dapat dipercaya (Sarwono, 1999).
Permasalahan antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization
theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan
sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial
mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us
versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di
Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah
membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol
seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik
fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan
ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan
kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif
seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya
kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya
sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan
terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan
Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada
dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih
positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana ia sendiri menjadi minoritas.
theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan
sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial
mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us
versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di
Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah
membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol
seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik
fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan
ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan
kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif
seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya
kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya
sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan
terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan
Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada
dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih
positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana ia sendiri menjadi minoritas.
Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan
outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan
memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota
kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama
juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya
prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka
membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau
dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama.
Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang
berasal dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar
keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut
akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha
tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup)
berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).
outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan
memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota
kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama
juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya
prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka
membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau
dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama.
Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang
berasal dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar
keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut
akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha
tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup)
berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).
Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi
supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga
meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya
trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang
akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku
yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau
menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk
dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut
dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan
bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher
& Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk
memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga
meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya
trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang
akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku
yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau
menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk
dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut
dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan
bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher
& Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk
memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi
sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber
penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia
sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.
Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi
(karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya
prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan
dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi
dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi
lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).
5) Langkah apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di Indonesia?
sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber
penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia
sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.
Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi
(karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya
prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan
dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi
dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi
lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).
5) Langkah apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di Indonesia?
Negara ini terdiri dari berbagai suku, agama, ras, maka itu marilah kita berpikir ulang, sebenarnya apa yang salah. yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana cara mengedukasi orang – orang yang rasialis/yang suka mendiskriminasikan dapat menerima "perbedaan", sehingga kita yang dari berbagai macam itu dapat bekerjasama dalam membangun negara ini jauh lebih baik.
Padahal apabila Negara kita semuanya bersatu , sudah sangat
pasti Negara ini akan lebih maju karena perbedaan yang membuat kemajuan ini
menjadi terhalang.
Sumber :
Sumber :
http://wmahendra.blogspot.com/2011/04/pribumi-dan-non-pribumi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pribumi
http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf
http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar